Sabtu, Februari 14, 2009

Hikayat Burung Mungil

Burung mungil itu...
Indah dan cantik nian
Bulu-bulunya halus
Mengkilat berwarna-warni
Suaranya bening merdu mendayu
Menyejukkan sampai ke sudut jiwa

Burung mungil itu...
Setiap hari seakan tak letih
Terbang ke sana ke mari
Sesekali meliuk ke kiri dan ke kanan
Kadang menukik hampir menyentuh bumi
Sedetik kemudian melesat mengudara lagi

Burung mungil itu...
Tak terbilang tersandung awan gelap
Terbentur gelegar petir dan guntur
Terseret puting beliung
Namun tak membuatnya terpelanting

Burung mungil itu...
Tetap indah dan cantik
Tak henti terbang dengan lincahnya
Berkicau menebarkan suara merdu nan ritmik
Harmonis dengan irama kepakan sayapnya
Serasi dengan warna-warni bulunya
Berkilau memesona diterpa mentari pagi

Burung mungil itu...
Tiba-tiba kicauannya tak semerdu aslinya
Seakan memberi isyarat harap dan cemas
Akan tiba saatnya hinggap
Di sangkar emas bertatahkan intan berlian
Bukan loyang berlumur onak dan duri
Burung gagak pun mengepakkan sayapnya
Penuh makna....

@jakarta, sabtu pagi 14 februari 2009.
Sumber foto: http://id.wikipedia.org/wiki/burung_cendrawasih

Minggu, Februari 08, 2009

Ragam Wajah

Di kala aku menumpang bus yang membawaku pergi pulang kerja ke kantor setiap hari, aku merasakan suatu kenikmatan batiniah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Selama masa waktu bekerja bertahun-tahun sampai detik ini aku telah bertemu dengan beribu-ribu orang dengan beragam wajah.

Ada yang cantik, ganteng, biasa-biasa saja, dan bahkan tidak kurang yang termasuk kategori di bawah standar yang umum. Namun, bagiku semua itu bukan masalah. Allah telah menciptakan struktur wajah setiap individu manusia sesuai dengan kehendakNya.

Aku sangat kagum pada Sang Pencipta karena dari keseluruhan wajah itu tidak satupun yang sama. Bukan hanya wajah orang-orang yang aku temui di bus, tapi juga di area mana saja di muka bumi ini. Tidak satu pun ditemukan wajah yang sama. Walaupun ada yang menyebutnya kembar, pasti ada titik-titik perbedaan di wajah mereka.

Dengan ke-maha kuasa-Nya masing-masing wajah terstruktur dengan sangat sempurna dan proporsional sehingga semuanya nampak enak dipandang dan dilihat. Mengapa hidung diletakkan di muka, kemudian kedua mata diberi alis, telinga dengan bentuk yang sangat artistik ditempatkan di lokasi yang sangat tepat, begitu pula mulut dihiasi oleh dua iris bibir yang sangat menarik. Sungguh Allah menciptakan semua itu dengan kreativitas yang maha tinggi dengan rasa seni (artistik) yang juga maha dahsyat.

Kekagumanku tidak berhenti sampai di situ. Dengan struktur wajah tertentu seakan diisyaratkan suatu pertanda tentang karakter tertentu pula dari masing-masing individu. Karakter itu pun sangat beragam dan tidak pernah persis sama antara manusia yang satu dengan lainnya.

Kekagumanku tak pernah berhenti ketika aku renungkan di balik setiap wajah ditaruhNya otak sebagai organ tubuh yang berfungsi sebagai pengendali sistem akal, pikiran dan logika. Melalui otak inilah semua kehendak, keinginan, dan gerak diatur dan diarahkan. Selain otak, ada organ tubuh yang paling dominan dalam diri manusia, yatu hati dan jiwa.

Aku berandai-andai, sekiranya hasrat, kehendak, dan keinginan yang muncul dalam pikiran dan hati serta jiwa setiap orang yang aku temui itu bisa didengarkan secara jelas sudah barang tentu betapa ramainya suasana kehidupan manusia di dunia ini. Namun, Allah maha kuasa, ternyata semua itu tidak ditampilkan dalam bentuk verbal, tetapi tersimpan rapat di benak masing-masing. Mengapa demikian? Itulah pertanyan yang selalu mengusikku untuk dijawab...
Allahu akbar!

@jakarta, minggu siang – 8 Februari 2009
Sumber foto: http://www.tmreizen.nl

Sabtu, Februari 07, 2009

Barang Bekas

Suatu panitia amal untuk korban bencana alam mengumumkan agar para warga yang kebetulan tidak bernasib malang beringan hati menyumbangkan pakaian bekas pakai untuk para korban bencana alam tersebut.

Hanya dalam waktu 3 hari setelah itu, panitia sudah dapat menghimpun pakaian bekas pakai dalam jumlah ribuan dari berbagai ukuran. Siapa pun tidak menyangkal bahwa hal ini menandakan kepedulian masyarakat cukup tinggi untuk berbagi dengan sesama yang kebetulan mengalami musibah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menyaksikan peristiwa serupa. Orang-orang yang hidupnya lebih atau berkecukupan memberi perhatian dan kepedulian pada mereka yang kurang beruntung dengan cara memberikan barang-barang bekas, entah itu berupa pakaian, alat-alat rumahtangga, dan lainnya.

Beramal sholeh seperti itu menurut tuntunan ajaran agama apa pun sangat dianjurkan. Namun demikian, pernahkah terpikirkan oleh kita tentang kualitas barang-barang pemberian itu? Tegasnya, apakah barang-barang yang selalu kita berikan pada kaum dhuafa harus dalam kategori barang bekas, hampir tidak pernah diupayakan barang-barang dalam kondisi masih baru?

Jika kita mau jujur, Sang Maha Pencipta selalu memberikan apa saja pada hambaNya dalam kondisi bukan barang bekas. Semua baru, dan benar-benar baru. Kita lihat saja, misalnya, buah yang kita petik dari pohon apa saja pasti bukanlah buah bekas. Air minum yang kita ambil dari sebuah sumber air di mana pun, pasti bukan air bekas. Udara pagi yang kita hirup dengan segar setiap hari, juga bukan udara bekas. Bahkan (maaf!) semua kotoran binatang dan hewan apa pun yang keluar dari alat pelepasannya pasti kotoran yang baru. Semuanya bukan barang bekas. Bahkan semua hambaNya tanpa pilih kasih diberiNya segala hal dalam kondisi masih baru!

Itu semua membuktikan bahwa Sang Maha Kuasa sangat menghargai semua mahlukNya. Kita ketika memiliki kelebihan sedikit saja dibandingkan orang lain kadang kala menjadi congkak. Ketika akan memberikan sumbangan amal, misalnya, yang terpikirkan lebih dahulu menghitung berapa banyak barang-barang bekas yang kita miliki untuk disumbangkan. Bukan memikirkan akan membeli barang-barang baru untuk keperluan itu. Kalau pun ada pemikiran ini, bisa dipastikan kualitasnya dipilih yang berada jauh di bawah normal dalam ukuran kita.

Bukan suatu yang aneh, ketika mendapat rizki untuk membeli pakaian, misalnya, biasanya pakaian itu pertama kali kita memakainya untuk kepentingan-kepentingan duniawi, seperti menghadiri undangan pesta perkawinan seorang teman. Apalagi jika undangan itu datang dari seorang yang status sosialnya lebih tinggi. Kita seakan memaksakan diri untuk membeli pakaian baru hanya demi menghormati orang itu. Hal ini justru berbeda dengan sangat kontrasnya ketika kita harus melakukan aktivitas ritual keagamaan sehari-hari. Kadang kala pakaian yang kita gunakan seadanya.

Mengapa ketika menjalankan ibadah, kita tidak meniatkan diri memakai pakaian yang baru juga, sebelum pakaian itu dipakai untuk kegiatan-kegiatan lain yang bersifat hubungan kemanusiaan? Mengapa kita tidak selalu berupaya melakukan suatu keseimbangan yang harmonis antara hubungan kemanusiaan (hablum minannas) dengan hubungan ke-Ilahian (hablum minallah)? Andai keseimbangan harmonis itu benar-benar dapat kita wujudkan, alangkah indahnya hidup ini. Itu merupakan salah satu wujud syukur dan terima kasih kita atas segala nikmatNya. Semoga ke depan kita selalu diingatkan olehNya untuk melakukan keseimbangan harmonis itu. Amin ya robbal alamin....

@jakarta, sabtu pagi – 7 februari 2009
Sumber foto: http://id.wikipedia.org

Jumat, Februari 06, 2009

Sibuk

Setiap aku berdiri di tepian jalan sudirman seusai jam kantor di sore hari, selalu saja aku melihat pemandangan yang sama, namun bagiku tetap menarik. Suasana begitu riuh dan ramai oleh orang-orang dari beragam status sosial: para eksekutif, karyawan, satpam, penjual makanan dan para pengemis. Penampilan orang-orang itu pun beraneka rupa: parlente, modis, sampai yang lusuh pun ada.

Para wanita dan pria eksekutif seakan berlomba memamerkan daya pikat seksualnya dengan dandanan mewah dan aroma parfum asal luar negeri. Sebaliknya, mereka yang dari strata menengah nampak sederhana meskipun tetap modis. Lain lagi yang terpuruk di strata bawah. Pakaian mereka lusuh, dandanan tak terurus, kucel, kusam, dan lungset merupakan identitas kesehariannya. Amat kontras dengan para eksekutif tadi.

Suasana di kawasan jalan sudirman begitu berwarna. Para pedagang segala macam barang berjejalan dan berebut menjajakan dagangannya. Ada penjual bakso, siomay, gorengan, es cendol, nasi goreng, air mineral, buah strawberry, mainan anak-anak dan penjaja koran. Semua ini menambah ruwetnya trotoar sehingga tidak lagi nyaman bagi pejalan kaki. Para penjual makanan yang berjajar di sepanjang sisi jalan sibuk melayani orang-orang yang antri. Mereka memanfaatkan waktu menunggu bus dengan membeli makanan sebagai pengganjal perut karena macetnya lalu lintas.

Suasana di ruas jalan sudirman sendiri tidak kalah ribut dan semrawutnya. Semua orang sibuk mengejar waktu untuk segera tiba di rumah masing-masing. Para pengendara motor bertumpuk tak teratur karena masing-masing berebut setiap jengkal ruas jalan dan kalau perlu menyerobot jalur yang digunakan oleh kendaraan jenis lain. Bahkan para pengendara motor ini sampai naik ke trotoar sehingga sangat mengganggu para pejalan kaki.

Ratusan mobil lalu lalang, dari yang mewah sampai bus yang butut. Pengemudinya tak kalah edan. Saling serobot, saling desak dan adu kuat menyingkirkan yang lain. Para kenek bus kota berteriak memanggil dan berebut penumpang. Deru mesin motor, mobil pribadi serta bunyi klakson dan asap knalpot berbaur menjadi satu menambah suasana semakin bising dan pengap. Arus lalu lintas menjadi macet. Kemacetan ini makin parah ketika turun hujan dan air menggenanggi ruas-ruas di sepanjang jalan sudirman.

Suasana teratur, rapi dan serba tertib justru telihat pada jajaran gedung-gedung pencakar langit. Semua gedung-gedung itu tampak mewah dengan fasilitas berteknologi tinggi, tempat konsentrasi dari berbagai kegiatan tingkat nasional dan global. Beberapa orang terlihat masih terlihat sibuk bekerja di dalam gedung-gedung mewah itu. Semua orang, termasuk aku, sibuk seperti berkejaran dan berlarian menghadapi kegiatan rutinitas setiap pulang kerja menjelang waktu sholat maghrib.

Tuhan, betapa sibuknya kami. Rasanya sudah tidak ada lagi ruang dan waktu untuk menikmati hidup ini dari aspek batiniah yang terwujud dalam perilaku religiusitas. Beruntunglah orang-orang yang dalam kesibukan seperti itu masih mampu mengingatMu...

@jakarta, malam hari 5 Februari 2009.

Selasa, Februari 03, 2009

Barisan Semut

Aku duduk di tepian kali kecil dekat persawahan
Pagi itu kunikmati semilir angin segar dan hangatnya sinar mentari pagi
Betapa damainya alam ini
Meski di bagian bumi yang lain
Tersiar kabar manusia saling baku tembak
Menuruti hawa nafsunya untuk saling menguasai
Tidak peduli korban-korban tak berdosa berguguran
Yang penting keangkara-murkaan terlampiaskan

Kutepis ingatan pada mereka yang sedang bergumul dalam perang
Kufokuskan perhatian pada semut-semut di sekitarku
Mereka berjalan beriringan menuju satu tujuan
Kadang saling berpapasan dengan yang lain dalam arah berbeda
Seakan menyapa, semut yang satu berhenti sejenak
Sementara semut yang lain berbuat sama
Tampak mereka sangat akrab
Tidak ada rasa permusuhan
Yang ada hanya persahabatan dan persaudaraan yang tulus
Dalam suatu komunitas yang aman, damai, dan tentram

Semut-semut itu terus beriringan seakan berlari
Entah sampai kapan itu mereka lakukan
Sepertinya tak pernah lelah, apalagi mengeluh
Terbukti tak satu pun dari mereka berhenti berlari
Betapa hebatnya sang Pencipta
Dengan konstruksi anatomi tubuh sangat kecil
Serta organ-organ tubuh yang juga dalam ukuran sangat mini
Semuanya berfungsi dengan sempurna, tanpa cela

Bagaimana jantung mereka berdenyut?
Bagaimana sistem aliran darah mereka bekerja?
Bagaimana sistem pernafasan mereka diatur?
Bagaimana makanan mereka diolahNya menjadi energi?
Bagaimana insting mereka berfungsi mengatur semua gerak dan kehendak?
......................................................................

Oh... terlalu banyak pertanyaan dan perenungan yang harus diajukan
Namun, pasti tak sanggup akal dan logika ini mencernanya
Kecuali menyebut kebesaranNya dengan nafas penuh takzim
Allahu akbar...!

@siang hari, 3 Februari 2009
Sumber foto: http://id.wikipedia.org/wiki/semut