Sabtu, Februari 07, 2009

Barang Bekas

Suatu panitia amal untuk korban bencana alam mengumumkan agar para warga yang kebetulan tidak bernasib malang beringan hati menyumbangkan pakaian bekas pakai untuk para korban bencana alam tersebut.

Hanya dalam waktu 3 hari setelah itu, panitia sudah dapat menghimpun pakaian bekas pakai dalam jumlah ribuan dari berbagai ukuran. Siapa pun tidak menyangkal bahwa hal ini menandakan kepedulian masyarakat cukup tinggi untuk berbagi dengan sesama yang kebetulan mengalami musibah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menyaksikan peristiwa serupa. Orang-orang yang hidupnya lebih atau berkecukupan memberi perhatian dan kepedulian pada mereka yang kurang beruntung dengan cara memberikan barang-barang bekas, entah itu berupa pakaian, alat-alat rumahtangga, dan lainnya.

Beramal sholeh seperti itu menurut tuntunan ajaran agama apa pun sangat dianjurkan. Namun demikian, pernahkah terpikirkan oleh kita tentang kualitas barang-barang pemberian itu? Tegasnya, apakah barang-barang yang selalu kita berikan pada kaum dhuafa harus dalam kategori barang bekas, hampir tidak pernah diupayakan barang-barang dalam kondisi masih baru?

Jika kita mau jujur, Sang Maha Pencipta selalu memberikan apa saja pada hambaNya dalam kondisi bukan barang bekas. Semua baru, dan benar-benar baru. Kita lihat saja, misalnya, buah yang kita petik dari pohon apa saja pasti bukanlah buah bekas. Air minum yang kita ambil dari sebuah sumber air di mana pun, pasti bukan air bekas. Udara pagi yang kita hirup dengan segar setiap hari, juga bukan udara bekas. Bahkan (maaf!) semua kotoran binatang dan hewan apa pun yang keluar dari alat pelepasannya pasti kotoran yang baru. Semuanya bukan barang bekas. Bahkan semua hambaNya tanpa pilih kasih diberiNya segala hal dalam kondisi masih baru!

Itu semua membuktikan bahwa Sang Maha Kuasa sangat menghargai semua mahlukNya. Kita ketika memiliki kelebihan sedikit saja dibandingkan orang lain kadang kala menjadi congkak. Ketika akan memberikan sumbangan amal, misalnya, yang terpikirkan lebih dahulu menghitung berapa banyak barang-barang bekas yang kita miliki untuk disumbangkan. Bukan memikirkan akan membeli barang-barang baru untuk keperluan itu. Kalau pun ada pemikiran ini, bisa dipastikan kualitasnya dipilih yang berada jauh di bawah normal dalam ukuran kita.

Bukan suatu yang aneh, ketika mendapat rizki untuk membeli pakaian, misalnya, biasanya pakaian itu pertama kali kita memakainya untuk kepentingan-kepentingan duniawi, seperti menghadiri undangan pesta perkawinan seorang teman. Apalagi jika undangan itu datang dari seorang yang status sosialnya lebih tinggi. Kita seakan memaksakan diri untuk membeli pakaian baru hanya demi menghormati orang itu. Hal ini justru berbeda dengan sangat kontrasnya ketika kita harus melakukan aktivitas ritual keagamaan sehari-hari. Kadang kala pakaian yang kita gunakan seadanya.

Mengapa ketika menjalankan ibadah, kita tidak meniatkan diri memakai pakaian yang baru juga, sebelum pakaian itu dipakai untuk kegiatan-kegiatan lain yang bersifat hubungan kemanusiaan? Mengapa kita tidak selalu berupaya melakukan suatu keseimbangan yang harmonis antara hubungan kemanusiaan (hablum minannas) dengan hubungan ke-Ilahian (hablum minallah)? Andai keseimbangan harmonis itu benar-benar dapat kita wujudkan, alangkah indahnya hidup ini. Itu merupakan salah satu wujud syukur dan terima kasih kita atas segala nikmatNya. Semoga ke depan kita selalu diingatkan olehNya untuk melakukan keseimbangan harmonis itu. Amin ya robbal alamin....

@jakarta, sabtu pagi – 7 februari 2009
Sumber foto: http://id.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar