Selasa, Januari 20, 2009

Tidak Berdiri Semdiri

“Wah, hebat engkau sekarang”, ujar Parto pada Wicaksono yang kini menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta ternama. “Iya, dong”, ucap Wicaksono pada sahabatnya itu dengan penuh rasa bangga.

Sepenggal percakapan antar dua sahabat tersebut sudah biasa kita dengar atau temui. Tidak ada yang istimewa dalam percakapan itu. Apalagi bila terjadi dalam suasana “sambil lalu”. Yang nampak sekadar percakapan basa-basi biasa, tidak mengandung makna apa pun.

Apabila direnungkan, keberhasilan Wicaksono menjabat direktur tentu telah melalui proses panjang. Banyak hal telah dilakukannya untuk mencapai itu. Tidak mudah dan pasti sangat berliku jalan yang harus ditempuhnya. Berbagai cobaan dan rintangan harus dilaluinya. Tenaga, waktu, dan pikiran sudah terkuras untuk itu. Dengan semangat tanpa mengenal menyerah akhirnya posisi terhormat itu bisa diraihnya.

Mungkinkah semua itu hanya dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan? Tanpa ada campur tangan dalam artian peran, fungsi atau bantuan dari orang lain? Jawabannya, pasti tidak mungkin.

Kehidupan seseorang di dunia ini seyogyanya tidak diklaim sebagai kehidupan “pribadi” yang steril. Bebas bersikap dan bertindak sesuai dengan kemauan pikiran dan kehendak hatinya. Betapa pun hebatnya modal pribadi yang dimilikinya, ketergantungan pada orang lain adalah keniscayaan. Modal pribadi memang sangat dibutuhkan. Namun demikian, ketika modal tersebut harus dikembangkan demi suatu tujuan (yang lebih baik, bahkan juga yang tidak baik sekalipun) maka bantuan orang lain mutlak diperlukan, baik bersifat langsung maupun tidak.

Apa yang dirasakan dan dialami seseorang pada saat ini merupakan “akumulasi” dari berbagai peristiwa dan kejadian sebelumnya. Jika direnungkan kembali semua peristiwa dan kejadian itu selain memang karena adanya modal pribadi sudah pasti berkaitan pula dengan peristiwa dan kejadian yang dialami oleh orang lain, baik secara langsung maupun tidak. Dengan perkataan lain, antarkejadian atau antarperistiwa terdapat suatu kaitan yang bersifat relasional dan kausalitas. Peran, fungsi dan bantuan orang lain seharusnya tidak boleh dinafikan.

Ironisnya, kadang kala peran, fungsi dan bantuan yang saling berkaitan itu tidak terlalu dipikirkan dan kemudian terabaikan begitu saja. Bila itu terjadi, semuanya dianggap merupakan keberhasilan diri semata. Bahkan campur tangan dari Yang Maha Kuasa cenderung diabaikan pula. Kalaupun sempat diingat, biasanya tak lebih dari sekadar ïngatan yang sifatnya ”basa-basi”.

Bila demikian, keberhasilan tidak lagi menumbuhkan rasa syukur melainkan akan lebih memunculkan arogansi, kecongkakan dan kesombongan. Ini semua kemudian akan menyebabkan yang bersangkutan selalu menuntut selain pengakuan juga penghormatan dan perhargaan (berlebih-lebihan) dari semua orang yang dianggap lebih rendah posisinya karena tidak berhasil seperti dirinya.

Pelajaran moral yang bisa dipetik: ”segala sesuatu tidak pernah berdiri sendiri dan tidak terjadi secara tiba-tiba.”

@Jakarta di keheningan selasa pagi, 20 Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar