Minggu, April 26, 2009

Kakek Penjual Peniti

Setiap pagi menuju kantor, aku harus melewati tangga penyeberangan. Kulewati para pedagang kaki lima yang berderet dikanan kirinya. Ada tukang kue, ada tukang mainan, penjual buku anak-anak, penjual kartu pulsa, penjual pernak pernik, penjual kaos, penjual tanaman hias, penjual mainan bahkan ada pula pengemis, duduk berjajar diterpa debu dari lalu lalangnya para pekerja yang bergegas ke kantor.

Di antara pada pedagang dan pengemis, ada yang paling menarik aku amati. Yaitu kakek penjual peniti. Seorang kakek yang kurus renta, tapi masih mau bekerja walau dagangannya yang dijual mungkin jarang dibeli orang yaitu peniti dan sejenisnya.

Kulihat dagangannya, yang hanya digelar dengan plastik biru kusamnya. Selain ada peniti, dia menjual juga tali sepatu, benang jahit, lem dan benda-benda kecil lainnya, yang mungkin sepintas orang akan jarang membelinya.

Aku hanya berpikir, apa masih ada yang membeli peniti? Andaikan ada yang beli, mungkin hanya satu dua orang, tapi apakah setiap hari orang membeli peniti? Dan apakah duitnya bisa untuk makan?

Allah maha adil, diberikannya rizki kepada setiap orang selama orang itu mau berusaha, walau akal manusia kadang berpikir tidak masuk akal hanya dengan penjual peniti bisa makan untuk sehari-hari.

Setiap pagi pula, aku lewati kakek tua itu. Dengan bergumam dalam hati bahwa aku sudah lama sekali tidak membeli dagangnnya. Walau hanya membeli peniti sekalipun. Walau hanya 1000 - 2000 rupiah sekalipun, pasti sangat berarti bagi kakek tsb. Dan selalu setiap pagi pula, aku hanya bisa melewati nya karena waktu yang mepet harus segera sampai di meja kantor tepat waktu. Walau dalam hati sangat berhutang atas niat itu. Pemandangan ini hampir setiap hari kulihat dan hampir setiap hari pula niatku selalu tidak terlaksana.

Hari Sabtu dan Minggu, suasana tangga penyebrangan menjadi sepi dan lenggang. Tidak ada pedangang sedikitpun, tidak ada orang lalu lalang. Namun beda dengan Sabtu kemaren, yang membuat aku sorak kegirangan di dalam hati. Karena saat naik tangga penyebrangan, kulihat diujung tangga, kakek tua tsb dengan dagangannya duduk terpaku, sendiri, tidak ada teman dan tidak ada orang lalu lalang. Sunyi senyap hanya suara kendaraan dijalan Sudirman yang terdengar.

Aku segera menghampirinya. Kesempatan bagiku untuk bisa ngobrol lama dan tidak terikat waktu kerja. Aku tegur bapak itu, wajahnya sudah keriput, kurus dan bungkuk, terbalut kulit keringnya dan kulihat bola matanya sudah agak buram karena hampir separuh terkena katarak.

Dia tersenyum. Aku berjongkok dan kukatakan aku mau beli peniti, aku berikan uang 2000, dan aku sudah mendapatkan banyak sekali peniti yaitu 4 lusin peniti. Kakek itu tersenyum senang. "Pak, kok sabtu-sabtu jualan sih pak? Kan tidak ada orang yang lewat pak?”
"Daripada dirumah neng, lebih baik jualan aja", jawabnya enteng.
"Kenapa tidak berjualan di tempat yang ramai seperti di pasar atau tempat-tempat lainnnya?", aku bertanya lagi. "Ngga neng, taunya cuma jualan disini."

"Lho memang rumah bapak dimana? "
"Disana neng", sambil menunjukan arah rumahnya dibalik gedung-gedung pencakar langit sudirman.
"Putranya berapa pak?"
"Delapan, neng..."
Aku kaget juga, pikirku banyak sekali anaknya. "Terus pak...." kata penuh selidik. "Iya, mereka dah pada nikah."
"Lho bapak ngga dibantu anak-anaknya?"
"Ngga neng, mereka juga susah".

Aku tidak tega untuk bertanya terus. Aku melihat senyum kakek itu tetap menghias wajahnya. Lalu kuberikan uang ala kadarnya. "terima ya pak uang ini", kataku. Kulihat lagi senyum dan wajah sumringahnya. Kudengar suara lirihnya serta kuperhatikan gerak bibirnya meluncur kata-kata mendoakan aku.

Ah kakek begitu tulus doanya, aku yang justru mengucapkan terima kasih banyak padanya. "Pak, aku pamit ya, terima kasih pak". Kakek itu menganggukkan kepala sambil terus tersenyum.

Saat kuberdiri dan meninggalkan kakek duduk sendirian kembali, aku sadar, sebenarnya aku sedang menolong diriku sendiri, bukan kakek itu.
Kakek itu dihadirkan untuk aku, agar bisa bercermin.

Di saat kita memberi, hati kita justru ringan dan senang. Kita tidak kehilangan apa pun, kita justru mendapatkan sesuatu. Tapi kenapa manusia selalu berat untuk berbuat itu?

Walau aku sadar masih banyak para kakek tua, nenek tua, kaum dhuafa diluar sana yang akan menolong aku. Menolong aku untuk berbuat.
Walau aku sadar pula, aku masih sangat jauh sekali untuk bisa dikatakan ‘sudah berbuat’ pada sesama terutama para kaum dhuafa...

@Minggu malam 22.25
Jakarta, 26 April 2009
Sumber foto: http://fotokita.net/browse/tag/pengemis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar