Minggu, April 26, 2009

Senandung Kemiskinan

Beragam bentuk dan wajah kemiskinan tampil di sudut-sudut negeriku. Begitu kaki melangkah keluar rumah, di kanan kiri lorong yang aku lewati setiap hari sudah terlihat beberapa perempuan tua peminta-minta telah berjajar mengharapkan belas kasihan setiap orang yang berlalu lalang di lorong itu. Aku tidak pernah tahu sejak kapan mereka mulai berada di tempat itu. Bisa jadi bersamaan dengan saat terbitnya matahari pagi.

Mereka dengan pakaian lusuh dan compang camping duduk bersimpuh dengan ibanya sambil menengadahkan tangannya yang kucel dan kurus kering ke setiap orang dan mobil yang melintas di hadapannya. Sesekali aku lihat pengendara mobil maupun orang yang melintas di hadapannya melemparkan uang recehan ke arahnya tanpa menoleh sedikit pun.

Betapa angkuhnya sikap para pemberi tadi. Hanya karena kebetulan merasa berkehidupan lebih daripada para pengemis itu, orang-orang yang bernasib malang itu dipandangnya tak lebih dari sebuah tonggak mati yang tidak perlu dilirik apalagi dipandang dengan penuh perhatian. Suatu potret arogansi materialistik yang mengikis makna-makna kehidupan dan humanisme.

Dengan sigapnya para pengemis itu menangkap uang recehan yang dilemparkan padanya sambil merunduk-runduk sebagai tanda terima kasih pada si pemberi.

Bentuk dan wajah kemiskinan lain dipresentasikan oleh banyaknya pedagang kaki lima, yang berjajar bagaikan barisan serdadu siap tempur. Mereka setiap hari mulai dari pagi hingga larut malam mengadu nasib dengan berjualan segala macam makanan dan minuman. Barisan ini semakin ramai oleh hadirnya para penjaja asongan berbagai macam barang dagangan di terminal-terminal bus. Wajah kemiskinan semakin dipertegas oleh banyaknya penjaja koran, penjual kaset lagu-lagu dan video bajakan serta para ojeg motor yang mengharapkan limpahan rizki dari para penumpang bus yang membutuhkan gerak lebih cepat menuju tujuannya.

Khusus di waktu pagi dan sore saat diberlakukannya aturan ”three in one” berderet para joki yang menawarkan jasanya untuk ”menyelamatkan” para pengendara mobil agar dapat melaju dengan mulus di jalur ”three in one” itu. Jika dihitung jumlah mereka di kawasan Jl. Panglima Polim hingga Blok M Plaza yang berjarak kurang dari 1 kilometer sudah sekitar 50 orang, terdiri dari anak-anak, remaja, orang-orang tua laki dan perempuan, bahkan tidak jarang sambil menggendong anak yang masih bayi. Belum lagi yang bertebaran di jalur-jalur lain yang menuju ke area ”three in one”.

Para joki ini seakan dikomando berdiri dengan rentang jarak antara yang satu dengan lainnya sekitar satu meter. Kelihatan dari jauh seperti para supporter yang sedang menunggu idolanya lewat di jalan itu. Padahal mereka hanyalah pengais rizki dadakan, kemudian menghilang entah ke mana setelah aturan pemberlakuan jalur ”three in one” usai. Tidak pernah diketahui juga apa aktivitas mereka setelah itu. Yang pasti mereka merupakan pasukan kaum miskin yang hampir tidak pernah disentuh oleh kebijakan pemerintah yang lebih bercorak elitis.

Potret kemiskinan masih bisa diperbesar oleh kehadiran para pengamen dan pemulung yang berkeliaran hampir di setiap sudut kota Jakarta. Jangan dilupakan, para pencopet pun bertebaran di tempat-tempat yang mereka anggap strategis untuk beroperasi seperti di bus-bus penumpang umum, pasar-pasar tradisional bahkan di pusat-pusat perbelanjaan modern.

Jakarta yang mengaku dirinya sebagai kota metropolitan masih disesaki oleh penduduk yang hidupnya di bawah standard kehidupan yang layak dan manusiawi. Tengoklah perkampungan-perkampungan kumuh berjejalan di balik gemerlapnya area ”segitiga emas”. Belum lagi kawasan sepanjang bantaran kali. Semua penduduknya sangat tidak layak disebut sebagai warga ibukota suatu negara.

Tingkat kehidupan mereka sangat homogen dalam lilitan kemiskinan. Gubuk-gubuk reyot, lingkungan yang kumuh, gizi buruk dan sanitasi yang sangat menyedihkan sudah teramat akrab bagi kehidupan keseharian mereka. Akses pada bidang pendidikan hampir tertutup karena alasan ketiadaan biaya.

Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digulirkan pemerintah SBY-JK tak mampu mengangkat mereka dari lembah keterpurukan. Meskipun diakui program ini bagi mereka merupakan anugerah. Namun ketika dibagikan harus ditebus dengan susah payah bahkan nyawa menjadi taruhannya.

Duh Gusti, betapa ironis kondisi bangsa ini. Betapa banyak wajah dan potret kemiskinan di negeri ini. Katanya negeriku kaya raya dengan sumber alamnya tapi mengapa tak mampu mengangkat tingkat kesejahteraan mayoritas rakyatnya?

Sementara wajah-wajah kemiskinan bertaburan di sentero nusantara, namun di sudut-sudut tertentu ibukota Jakarta terlihat dengan jelas sebagian kecil rakyat negeri ini merupakan orang-orang yang berlomba melampiaskan nafsu keserakahan materialistiknya. Mereka juga berlomba mengoleksi mobil mewah terbaru, rumah bertingkat bagaikan istana yang tidak cukup dibangun hanya di satu lokasi tapi berada di banyak tempat yang berbeda.

Gaya hidup glamour yang seakan tak mau ketinggalan oleh pesatnya perkembangan mode klas dunia menjadi pemandangan yang sudah lumrah. Tak kalah pentingnya hidup mereka pun seakan hanya untuk satu tujuan mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Segala macam cara ditempuhnya meskipun harus memangsa sahabat dan tetangga dekat.

Kisah menyedihkan yang menerpa bangsa dan negeri ini tak kunjung usai. Ulah para elit politik justru semakin menambah runyamnya kondisi ini. Setelah pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) Legislatif 2009 yang baru saja selesai awal April lalu, cerita-cerita mengenaskan bermuculan. Baru kali ini tercatat dalam sejarah perpolitikan bangsa para kontestannya (calon-calon anggota badan legislatif) yang gagal mendapatkan suara rakyat yang dipersyaratkan mengalami stres berat, hilang ingatan dan bahkan bunuh diri.

Ini semua mengindikasikan bahwa keikutsertaannya dalam pemilu itu tak lebih sebagai suatu perjudian. Mereka mencalonkan dirinya bukan dengan niat untuk mengabdi pada rakyat, bangsa dan negara ini. Akhirnya mereka itu menjadi korban perjudian yang dikemas dalam nuansa demokrasi.

Ulah para elit politik lebih parah lagi. Sebelum hasil penetapan suara diumumkan secara resmi, mereka sudah ribut memperebutkan kekuasaan. Hampir setiap detik media massa tak pernah absen melaporkan aktivitas mereka yang saling lobbi.

Elit-elit partai hampir semuanya menginginkan menjadi presiden atau paling tidak wakil presiden periode mendatang (2009-20014). Hiruk pikuknya bagaikan suasana di pasar sapi. Rakyat diberi tontonan yang amat absurd dan tidak mencerdaskan. Bila demikian, kapan mereka memikirkan nasib rakyat yang tak pernah lepas dari keterpurukan ini?

Rakyat ini sudah terlalu lelah
Rakyat ini sudah terlalu sering mengalah
Rakyat ini sudah terlalu lama merintih
Rakyat ini sudah terlalu bosan menderita
Rakyat ini sudah terlalu jenuh dengan kemunafikan

Sudah saatnya negeri dan bangsa ini membutuhkan figur-figur pemimpin yang benar-benar amanah, mumpuni, cerdas, bermoral tinggi, jujur, kapabel dan bertanggungajawab demi kejayaan nusa dan bangsa Indonesia ke depan.

Semoga Allah selalu memberikan rahmad dan hidayahNya kepada seluruh komponen bangsa dan negeri ini, tanpa terkecuali. Amin.

@Jakarta, sore hari, 24 April 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar