Sabtu, April 18, 2009

Moda Transportasi Publik Jakarta dan Singapura...

Saya menjadi miris saat kembali ke Jakarta setelah dari negeri tetangga. Bukan maksud untuk tidak bersyukur, tapi melihat negara tetangga yang jelas-jelas sumber daya alamnya tidak ’sekaya’ Indonesia namun lebih makmur, rapih, dan bersih.

Saat kita tiba di bandara Cengkareng, sudah disambut sopir taxi dan calo diluar bandara Cengkareng. Mereka menawarkan taxinya sambil tangannya ingin menarik tas dan bawaan kita, dengan agak memaksa agar kita memakai taxinya. Tentu saja penumpang akan takut bahkan bagi yang belum pernah menginjakkan kakinya di Jakarta akan terpedaya.

Di Jakarta biasanya kita akan memutuskan memakai taxi yang sudah ternama. Itulah Jakarta, kita harus selalu hati-hati dan waspada bahkan dalam memesan taxi sekalipun. Suasana ini sangat berbeda dengan di Singapura dan Kuala Lumpur.

Saat menaiki bus kota, metromini, kopaja, mikrolet bahkan bis AC sekalipun yang tarifnya lebih mahal, kita dapati pintu, tempat duduk atau pegangan tangan sudah berkarat, yang bisa melukai tangan saat para penumpang memasukinya. Kalau hujan turun, tidak jarang atap bis bocor, yang membuat bangku dan penumpang bisa kebasahan.

Jok kursi yang sudah jebol bahkan ruang duduk yang sempit. Bahkan kadang ada bangku tambahan berupa papan yang diselipkan di sela-sela bangku. Intinya tidak boleh ada runagan yang kosong, bila ada lebih baik dijadikan tempat penumpang, yang berarti uang pemasukan bagi sopir.

Belum lagi penumpang yang berdesak-desakan, bahkan bis yang sudah penuhpun akan terus diisi penumpang di jalan, sehingga penumpang layaknya barang bukan manusia, dipepet berdiri semakin terdesak. Pedagang asongan, pengamen, peminta minta, kenek yang mondar mandir ikut menambah suasana di dalam bis semakin berdesakan.
Belum lagi penumpang pria atau sopirnya yang merokok di dalam bis, dengan suasana padat, pengap dan panas tsb.

Tidak jarang ada kejahilan-kejahilan pelecehan wanita, ada juga copet dan preman. Bahkan sopirnya ugal-ugalan di jalan, saling kebut antar sesama bis, mengejar setoran.

Dan tidak hanya bis bahkan kereta, saling oper penumpang merupakan pemandangan normal sehari-hari di Jakarta. Sepertinya penumpang tidak punya hak sama sekali atas kenyamaan di transportasi public, padahal mereka bayar bukan gratis.

Bandingkan dengan di Singapura atau KL, penumpang dihargai hak-haknya. Fasilitas transportasi public tidak hanya bersih, tapi rapi, bagus, sangat layak, tidak mengebut, ongkosnya pun murah, penumpang tidak dioper, bahkan saat kita naik dan turun, tidak disuruh cepet-cepet seperti teriakan kenek di jakarta ”cepet-cepet!! Turun!..turun!!! Di Singapura dan KL, sopir akan menunggu sampai semua penumpang turun dan naik dengan selamat.

Fungsi halte di Jakarta kadang tidak bermanfaat sama sekali. Bis-bis Jakarta sembarang menurunkan penumpangnya, begitu pula penumpang memberhentikan bisnya tidak selalu di Halte.

Pengendara mobil dan motor tidak kalah untuk berugal-ugalan di jalan.
Aparat lalu lintas hendaklah mendisiplinkan bukan karena uang.

Di Singapura, setiap orang harus menunggu bis di halte, yang telah dipasang system komputerisasi sehingga nomor bis yang akan lewat akan muncul di layar monitor berikut waktunya. Hal ini sangat diperlukan bagi penumpang yang menunggu. Karena jadi bisa memperkirakan waktu lama menunggu.

Kita tidak perlu muluk-muluk mebangun sistem transportasi sampai milyaran bahkan trilyunan rupiah, karena katanya negeri ini tidak punya uang. Tapi itu bukan kendala untuk bisa maju. Saatnya negeri in belajar dari hal yang kecil terlebih dahulu.

Belajar disiplin
Belajar tertib
Belajar bersih
Belajar membuang sampah pada tempatnya
Belajar saling menghargai
Belajar untuk peduli
Belajar jujur
Belajar untuk tidak mencurangi
Belajar selalu tersenyum
Belajar untuk kuat
Belajar untuk mandiri
Belajar untuk ikhlas
Belajar untuk tidak meminta
Belajar untuk tetap semangat
Belajar hidup sederhana
Belajar dan terus belajar dan belajar ...

Nilai-nilai Islam banyak diterapkan di negeri orang yang bahkan penduduknya bukan Islami sekalipun.
Saat nya kita, di negeri ini yang mayoritas muslim, untuk masing-masing menegakkan nilai-nilai universal yang semua itu tertuang didalam islam dan bahkan diajarkan Rosulullah.

Islam janganlah dibangun dari sisi syariatnya saja. Namun harus berbarengan dengan aspek jiwa, aspek hakekat. Sehingga negeri ini akan dipenuhi orang-orang yang berbudi luhur baik lahir maupun bathin.

Lalu mengapa kita tidak menerapkan dalam kehidupan kita sehari-hari? Bahkan dalam hal bertransportasi sekalipun?

@Jakarta , Mnggu 18 April 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar